Jember, pcnujember.or.id – Di tengah gemerlap dunia modern, teladan KH. Ahmad Nahrawi justru makin bersinar. Sang kiai bukan sekadar pengasuh Pondok Pesantren Maqnaul ‘Ulum, melainkan arsitek yang mencetak generasi “always ready to use” – santri yang siap pakai kapan pun dan di mana pun.
Bagi Muhammad Darwes, Kiai Nahrawi adalah guru yang menutupi kesalahan santri dengan kelembutan, bukan kemarahan. “Kami menaati beliau bukan karena takut, tapi karena wibawanya yang lembut,” kenang Darwes, yang memilih cuti dari kuliahnya demi menimba ilmu di pesantren.
Kiai Nahrawi dikenal sebagai pendidik yang tegas namun penuh kasih. Pesan-pesannya sederhana tapi mengena, seperti nasihat dalam bahasa Madura: “Engkok tak ridha tang santreh, sapah bein santreh mon sampek nokol binenah.” (Saya tidak ridha kepada santri siapa pun jika sampai memukul istrinya.)
Ahmad Fauzi, santri lain, mengenang kiai sebagai sosok periang yang tak segan memotong rambut santri sendiri. “Bahkan dengan alat cukur tua peninggalan Belanda, beliau menjadikan setiap aktivitas sebagai sarana pendidikan,” ujarnya.
Kiai Nahrawi bukan sekadar pengajar, melainkan komposer pendidikan sejati. Ia merancang sistem yang memadukan spiritualitas, nasionalisme, dan pengabdian sosial. “Santri harus siap berjuang, bukan hanya dengan senjata, tapi dengan ilmu dan akhlak,” tegasnya.
Pesan khasnya selalu menginspirasi: “Engkok seneng tak santreh mon mole bisa ngajar ngaji.” (Saya senang jika santri-santri saya, sepulang dari pesantren, bisa mengajarkan ngaji di masyarakat.)
Kiai Nahrawi menanamkan cinta tanah air melalui tindakan nyata. Ia mewajibkan santri mengikuti pelatihan P4 dan mengenakan songkok nasional. “Kalau belum menunaikan haji, jangan gunakan songkok haji,” pesannya tegas.
Abdul Ngafur mengenang, sang kiai gemar menanam pohon karena meyakini setiap tumbuhan yang hidup akan menjadi amal jariyah. Sementara Mohammad Zuhdi bercerita keunikan lain: santri yang selesai kerja bakti paling akhir justru mendapat hadiah. “Thebunah, kata beliau, santri seperti itu biasanya orang yang ikhlas,” kenang Zuhdi.
Kepemimpinan ala Kiai Nahrawi tercermin dalam pesan Madura: “Mon esoro epentah ngimami jek ngocak ngereng.” (Jika diminta memimpin, jangan menolak.) Baginya, pemimpin sejati adalah pelayan masyarakat.
Ketegasannya dalam menuntut ilmu juga legendaris: “Ajer apa bein jek pananggung.” (Belajarlah apa pun, jangan setengah-setengah.) Ilmu yang setengah jalan hanya akan menjadi seperti kain lap – tak berguna.
Kisah heroik Kiai Nahrawi saat berani menggantikan gurunya, Kiai Salim, yang diancam hukuman mati Belanda, menjadi telapan abadi. “Daripada kiai yang meninggal, lebih baik santrinya yang mati,” ujarnya waktu itu.
Kini, warisan Kiai Nahrawi terus hidup. Metode pendidikannya yang memadukan disiplin semi-militer dengan kelembutan hati, telah melahirkan generasi yang tak hanya pandai mengaji tapi juga siap menghadapi tantangan zaman.
Santri-santri Maqnaul ‘Ulum pun tahu: setiap pesan sang kiai bermuara pada satu tujuan – mencetak manusia “always ready to use” yang siap mengabdi untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan. Warisan yang tak ternilai di era yang serba instan ini.
Editor : Irwansyah GI








