Oleh : SUUDI
( Mahsiswa Pascasarjana IAIN Jember Prog.PAI Beasiswa MADIN )
Kurikulum PAI didisinyalir masih belum menjangkau tiap guru pendidikan agama Islam. Hal ini juga diperkuat dengan belum lengkapnya perangkat konseptual kebijakan kurikulum yang dimiliki oleh sekolah. Persoalan lainnya adalah kompetensi guru agama Islam baik dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang beragam disebabkan faktor kualifikasi, latar belakang pendidikan, pengalaman pelatihan, dan pembinaan yang diterima guru.
Problem lain yang tak kalah urgen adalah durasi waktu pembelajaran yang terlampau singkat untuk materi-materi pendidikan agama Islam yang begitu padat dan penting. Materi-materi yang menuntut pemantapan pengetahuan, pembinaan akhlak dan kepribadian peserta didik harusnya diberi porsi waktu yang sesuai dengan urgensi materi tersebut misalnya saja dalam bidang studi Aqidah Akhlak, Alqur’an dan Hadith, Fiqih, bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam tidak hanya terfokus pada pengetahuan akan tetapi juga berorientasi pada pembentukan sikap dan ketrampilan (pembiasaan). Disamping itu pendidikan agama Islam juga membutuhkan keikutsertaan guru mata pelajaran lain untuk memberikan motivasi pada peserta didik untuk mempraktikkan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, guru juga semestinya bisa lebih kreatif dalam pembelajaran PAI, orang tua (wali murid) lebih aktif berperan serta dalam mendukung keberhasilan pembelajaran PAI.
Perlu sama sama memahami bahwa Pendidikan agama Islam bukan hanya sebatas menghafal dan mencatat. Selama ini pendidikan agama dipandang hanya sebatas catatan dan hafalan dan lemah dalam pengamalan serta penghayatan nilai agama itu sendiri. Padahal kita ketahui bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia dengan segala problematikanya dan karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yaitu prinsip bertindak untuk menumbuhkan kesadaran mengubah kenyataan yang menindas.
Tantangan pendidikan agama Islam juga tidak hanya muncul dari sisi internal saja, terkini muncul wacana peleburan mata pelajaran agama dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPkn) yang diopinikan oleh Setyono Darmono dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Opini ini menggiring bermunculannya opini-opini liar yang mengemuka di masyarakat mengingat persoalan agama merupakan hal sensitif bagi keberagamaan di Indonesia yang religius. Isu-isu demikian seolah mengesampingkan problem-problem bangsa semisal terorisme dan radikalisme yang notabene justru harus mengedepankan pedidikan agama yang benar dan kontinu. Pendidikan agama seharusnya diberikan porsi yang proporsional sehingga pendidikan agama dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan. Wacana dan ide pencampuradukkan dua mata pelajaran kalo benarbenar di realisasikan sudah secara pasti akan berimbas terhadap pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan) yang pada akhirnya akan memunculkan kebingungan baik dalam perencanaan, implementasi, maupun evaluasi dari kurikulum itu sendiri.
Dengan demikian segala kebingungan yang terkait dengan wacana penggabungan dua mata pelajaran (pendidikan agama dan PPkn) adalah suatu hal tidak perlu untuk dimunculkan lagi mengingat bahwa masih banyak problematika bangsa ini yang belum terselesaikan yang justru hal itu dipicu dari ketidak tuntasan pendidikan agama. Penelitian Wahid Institute dalam indikator dan kerukunan sosial keagamaan di komunitas muda menyebutkan bahwa 37 persen anak muda mendukung praktik radikalisme (Situmorang, 2019). Oleh karenanya seyogyanya isu yang dapat memicu konfrontasi umat beragama hendaknya diminimalisir dan lebih fokus pada penyelesaian persoalan yang memang secara realita dihadapi oleh bangsa ini. Sebaliknya munculnya gagasan peleburan pendidikan Agama di sekolah bukanlah turut serta dalam menyelesaikan masalah dalam dunia pendidikan melainkan justru menambah kebingungan dalam pengembangkan Kurikulum PAI. Ide-ide membangun haruslah diakomodir dengan bijak namun manakala ada sebagian oknum yang mengatasnamakan pendidikan namun pada hakikatnya bukanlah orang yang langsung berkecimpung di dunia pendidikan memunculkan ide yang justru merusak tatanan yang sudah baik tentu hal ini tidak dapat serta merta diterima begitu saja. Perlu pertimbangan yang sangat kritis serta bijaksana dalam menyikapi setiap wacana ataupun ide yang ada. (Wakil Rois MWCNU Mayang)