Pacasila lahir terlebih dahulu tanggal 1 Juni 1945 hasil dari rapat BPUPKI agar ketika Indonesia siap untuk merdeka, sudah memiliki dasar dalam kesatuan bernegara dan hukumnya. Pancasila dan UUD 1945 telah mengarung bersama Indonesia untuk mencapai berbagai kemajuan dari berbagai bidang. Kendati demikian, beberapa sejarah masih menuliskan adanya penolakan dari beberapa golongan atas kedua asas NKRI tersebut.
Salah satu gambaran sejarah akan penolakan dasar pancasila adalah gerakan dari DI/TII(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang merupakan himpunan kelompok yang kebanyakan disebut-sebut di bawah pondok pesantren. Mereka melakukan berbagai serangan dan berusaha menolak dasar Pancasila serta UUD 1945 dengan menyebutnya “Pancasila syirik”. Namun, sejarah juga menceritakan banyak pesantren dan lembaga Islam yang melakukan pergerakan mendukung keutuhan NKRI baik sebelum merdeka maupun pasca merdeka. Berikut dengan dukungan terhadap dasar negara ini. Akan tetapi yang tertulis hanya segelintir saja, seolah menggambarkan pesantren tidak ber-nasionalis.
Hadaratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh Pendiri NU sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, ketika menerima sowan dari pembesar pahlawan pasca kemerdekaan, mereka menanyakan bagaimana hukum membela negara yang bukan Negara Islam. Lantas KH. Hasyim Asy’ari menjawab hukumnya wajib ain, bahkan yang mati membela dikatakan syuhada dan pantas mendapatkan surga. Hal tersebut kemudian digemblengkan oleh oleh Bung Tomo dan para Kiai di pulau Jawa, sehingga tangggal 10 November sekitar 20 ribu para pejuang yang mayoritas santri berkumpul di Surabaya untuk membela tanah air dari serangan sekutu.
Bukan hanya di dalam perjuangan jihad, pengajaran Nilai-nilai Pancasila sekarang, secara tidak langsung ada di dalam pesantren dan diajarkan setiap harinya. Pernyataan KH Yazid Karimullah, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qarnain Kecamatan Sukowono Jember, ketika ditanya pendapatnya tentang Pancasila, dengan tegas menjawabnya, jika mau belajar Pancasila, di pesantren lah tempatnya. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan, karena di dalam pesantren walaupun tidak digembleng dengan buku Pancasila, namun nilai Pancasila kental diajarkan dan diterapkan di dalamnya.
Sila ketiga pada Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia, sebenarnya mencerminkan berbagai perbedaan suku, budaya, ras, dan agama. Tapi tetap dipersatukan di bawah Panji Merah Putih Indonesia. Begitu pula di pesantren, berbagai santri dari berbagai pelosok datang ke pondok dengan satu tujuan yaitu menuntut ilmu. Tidak hanya terikat hanya saat di pesantren saja, namun pasca keluar dari pesantren nilai-nilai keterikatan ini masih kuat di hati para santri.
Begitu pula pada sila kedua, keempat, dan kelima dalam Pancasila. Peraturan pesantren menyamaratakan santri dari semua kelas tingkat ekonomi maupun status sosial keluarga. Bahkan seorang santri dari putra Kiai juga tidur di atas lantai sama dengan santri kebanyakan. Tidak ada kata si miskin dan si kaya. Semua terikat dalam peraturan yang sama, tidak ada kesenjangan hukum. Semua rata diajarkan adab sopan santun, diajarkan untuk taat dan sejalan dengan keputusan dan peraturan yang berlaku di bawah naungan kepemimpinan yang ada. Terutama ajaran mencintai tanah air dan negara yang merupakan bagian dari iman.
Pelajaran yang diajarkan di pesantren tidak sedikitpun mengarah pada pemberontakan kepada pemerintah dan ideologi yang ada. Sebagaimana yang dinyatakan Imam al-Mawardi dalam riwayatnya, ketika pemerintah sudah memenuhi dua tugasnya yaitu politik dunia dan menjaga agama, maka wajib menaati sekalipun tanpa berasas daulah Islami dalam penyelenggaraannya.
Pesantren di bawah naungan Nahdatul Ulama’ atau NU, tidak sedikitpun mengajarkan radikalisme maupun penolakan kepada pemerintah. Namun, senantiasa mendorong santrinya untuk memiliki moral Pancasila yaitu cinta dan membela tanah air dari pihak pihak yang mengacam maupun yang ingin merongrong keutuhan nilai-nilai Pancasila. Hal itu juga sejalan dengan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menegaskan bahwa Pancasila bukan agama, tidak bertentangan dengan agama, dan tidak digunakan untuk menggantikan agama. (Red)
*Ditulis oleh Wildan Miftahussurur, kontributor pcnujember.or.id di MWC NU Sukowono.