HT (Handy Talky), eh maksudnya Hizbut Tahrir, sudah menunjukkan inkonsistensinya terhadap ideologi yang dipatenkan sendiri. sebagaimana sudah mafhum, tujuan utama pemikiran kelompok ini, adalah menegakkan Khilafah atau Daulah Al Islam, yang menurut mereka sebagai wujud tegaknya kembali kejayaan Islam di muka bumi.Dan untuk meraih totalitas dalam berislam, jalan satu-satunya dengan cara sistem khilafah.
Suatu negara yang sistem pemerintahannya menganut kapitalisme dan sekulerisme, maka HTI dengan keras menolak sistem pemerintahan yang demikian itu, sebab dinilai sebagai sistem pemerintahan yang kufur, tidak menerapkan syariat Islam. Termasuk sistem pemerintahan di Indonesia ini, mereka anggap sebagai pemerintahan kafir, dengan alasan tidak menjadikan Islam sebagai dasar sistem pemerintahannya.
Selain menolak kapitalisme, dan sekulerisme, HTI juga menolak demokrasi, nasionalisme dan sosialisme. Dimana tiga ideologi terakhir ini dianut oleh Indonesia dalam bingkai utama Pancasaila. Maka dari itu HTI sama sekali tidak bersedia membantu proses demokratisasi di Indonesia. Namun sikap HTI tersebut bertolak belakangdengan sikap pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyuddin An Nabhani, yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota parlemen melaui pemilu. Meskipun tidak dijelaskan di Negara mana ia mengikuti pemilu itu. (Ainur Rafiq Al Amin:2012).
Demikian pula, HTI mengharamkan anggotanya untuk mendirikan organisasi sosial/yayasan sosial, pesantren, sekolah, koperasi, kantor tenaga kerja, dan balai latihan kerja. padahal menurut Ainur Rofiq (mantan anggota Hizbut Tahrir), pada tahun 2000-an sebagian anggota HTI memiliki lembaga pendidikan di Surabaya (SBI dan STIES), dan juga lembaga kursus komputer.
Dulu,waktu saya masih Aliyah, pernah diajak oleh salah satu guru (Guru Bahasa Indonesia) waktu itu untuk mendatangi halaqah HTI di timur kampus Unej, bertempat di Masjid kecil (saya lupa namanya), beberapa gang masuk ke selatan timur kampus, di Jl. Kalimantan. Waktu itu sekitar pertengahan tahun 2008, sedang terjadi kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan Presiden SBY,saya bertanya kepada pemateri/musyrifnya, kenapa mereka tidak berdemo saja?. Ia menjawab kalau demontrasi itu diharamkan di HTI.
Nah, inkostensi selanjutnya adalah pasca pembakaran bendera HTI oleh Banser, Ismail Yusanto saat diwawancarai oleh tim program “Mata Najwa”, ia menyatakan bahwa HTI tidak memiliki bendera, dan bendera yang dibakar itu adalah ar rayah, yang dimaknai sebagai bendera Rasulullah SAW. Padahal sangat jelas di dalam kitab wajib Hizbut Tahrir, menyebutkan bahwa al liwa’ (bendera putih dengan tulisan tauhid hitam), atau ar rayah (bendera hitam dengan tulisan tauhid putih) itu merupakan simbol identitas bendera Hizbut Tahrir. (HT, Ajhizatu Daulah Al Khilafah:2005).
Tak ayal, pembakaran bendera HTI yang dilakukan Banser, menyulut emosi masyarakat yang mengakui kalau itu ar rayah (bukan bendera HTI). Sehingga ada yang mengerahkan massa untuk demonstrasi yang berpuncak pada tanggal 02 November 2018, beberapa hari yang lalu. Pastinya peserta aksi itu juga diisi oleh sebagian anggota HTI. Karena mereka juga sakit hati setelah resmi dibubarkan oleh pemerintah. Lagi-lagi HTI menunjukkan inkonsistensinya terhadap pernyataan “mengharamkan demonstrasi”, faktanya juga berdemo. Ya meskipun dirubah dengan istilah Masiroh dalam aksinya.
Bentuk Khilafah yang didengungkan Hizbut Tahrir, terdiri dalam beberapa elemen. Diantaranya, Khalifah sebagai pemimpin utama, Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Departemen Perang, Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Industri, Departemen Peradilan, Departemen Pelayanan Rakyat, Departemen Keuangan dan Perbendaharaan Negara, Departemen Informasi, dan Majelis Umat. (HT, Ajhizatu Daulah Al Khilafah:2005).
Dalam dua departemen impian khilafah HTI, memperbolehkan non-muslim menjadi bagian dari departemen tersebut, yakni Departemen Perang, dan Majelis Umat. Anggota Majelis Umat, sebagai lembaga wakil rakyat, dipilih melalui Pemilu. Bukan pilihan dari Khalifah. Nah, bukankah pemilihan umum bagian dari demokrasi?.
Demikianlah kelucuan HTI, terkesan paradoks dengan pernyataannya sendiri. Kegagalannya dalam mendengungkan khilafah di Indonesia, membuktikan betapa kuatnya komitmen masyarakat Indonesia, khususnya ormas-ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyyah dalam menjaga keutuhan NKRI, sebagai bentuk Negara yang sudah Final.
Maka dari itu untuk selamanya HTI jangan sampai bisa berdiri tegak di Indonesia, karena dapat mengancam kerukunan, persatuan kesatuan antar umat beragama di Negara tercinta ini. Ayolah ikhwani wa akhwati, darah kita itu darah ibu pertiwi, nenek moyang kita bersusah payah berjuang agar bisa sujud sembah tanpa suara tembakan. Pekikan takbir membuat penjajah lari terbirit-terbirit, hingga kita bisa ibadah, sekolah, dan mengaji dengan tenang. [M. Iqbal Harimi]