Opini  

MERUMUSKAN IMPLEMENTASI ASWAJA

Gus Faiz adalah Dosen Iain Jember dan Ketua LTN NU Jember

Jember,pcnujember.or.id

Keindahan sebuah konsep pada dasarnya tidak diukur dari muatan normatifnya akan tetapi realisasi konsep itu di lapangan. Aswaja yang merupakan singkatan Ahlu Sunnah Waljamaah adalah konsep ideal dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Konsep aswaja pada dasarnya adalah visi keislaman mayoritas umat Islam sunni di Indonesia. Akan tetapi sekalipun demikian, karena konsep aswaja ini lebih merakyat di kalangan warga Nahdlatul Ulama maka dengan sendirinya warga NU memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengimplementasikannya di lapangan. Pada masa yang lewat komitmen masyarakat terhadap aswaja masih lebih berat kepada kebanggaan sejarah. Namun tentunya, umat Islam dan lebih khusus warga NU dari kalangan generasi muda dan kelompok terpelajar sudah kurang dapat merasakan pengalaman ber-aswaja itu. Bahkan sebagian merasa bahwa aswaja barulah merupakan konsep di atas kertas. Hal ini dibuktikan karena Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam dan mayoritas umat Islam itu adalah warga NU. Lalu persoalannya adalah bagaimana kita memberi jawaban untuk memuaskan kedahagaan intelektual yang ingin melanjutkan pemahaman aswaja dari tataran normatif kepada tataran yang lebih praktis.

Merumuskan pemahaman terhadap aswaja tentunya adalah pemahaman yang mencoba menggali akar dari ajaran Islam. Islam datang dengan konsep baru tentang rekayasa kehidupan manusia yaitu yang bertumpu pada sikap yang selalu mengambil jalan tengah (tawassuth), seimbang (tawazun) dan konsisten dalam pendirian (i’tidal). Dua corak pemikiran manusia menjelang kehadiran Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW adalah hanya mampu melihat sisi kehidupan pada dua alternatif yang sama-sama ekstrim. Sebagian berpandangan bahwa kehidupan ynag ideal itu adalah sama sekali harus meninggalkan dunia materi dan hanya berorientasi kepada kerohanian. Oleh karena itu, manusia harus melepaskan diri secara mutlak dari tuntutan kehidupan fisik. Sementara sebagian lagi melihat bahwa kehidupan yang ideal adalah manakala semuanya harus didasarkan pemenuhan kebutuhan fisik. Pola berpikir pertama yang memutlakkan idealisme dan tidak mengakui pentingnya kehidupan fisik akan gagal mewujudkan misi Islam yang menyatakan: Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. Al Anbiya [21]: 107). Sebaliknya juga, pola berpikir yang melihat materi adalah ukuran kebenaran juga akan mengalami kegagalan karena ternyata materi tidak mampu mengantar manusia menuju kehidupan yang bahagia. Dengan konsep jalan tengah ini memberikan penegasan bahwa kehidupan rohani menjadi penting karena itulah yang menentukan arah dan tujuan sebuah cita-cita kehidupan. Akan tetapi manusia juga harus menyadari bahwa ia berada dalam alam proses kehidupan di dunia realita yang belum tentu sejalan dengan cita-cita itu. Oleh karena itu, seorang muslim harus dengan sabar menjalani proses itu dan tidak lekas putus asa. Jalan pikiran kalangan fundamentalis dan teroris yang mengatasnamakan Islam adalah cara berpikir yang mengambil jalan pintas untuk melakukan sebuah perubahan. Cara berpikir yang demikian pasti akan gagal karena sebuah budaya tidak mungkin diubah dengan tindakan kekerasan karena hal itu justru akan menimbulkan perasaan antipati. Sikap antipati bukan saja kepada orangnya sebagai pelaku akan tetapi juga dapat menjurus kepada Islam sebagai agama. Apa yang disaksikan sekarang pasca peledakan bom di berbagai tempat di Indonsia dasawarsa terakhir ini, catatan komentar kalangan pengamat akhirnya cenderung  mendorong terbentuknya opini negatif terhadap Islam. Padahal dengan karakter tawassuth tidak mungkin seorang muslim melakukan hal yang demikian. Demikian juga pola berpikir yang mengandalkan kepentingan hedonisme, positivisme, pragmatisme ternyata juga gagal memahami kebenaran dan akhirnya mendorong corak berpikir yang diliputi ketidakpastian yang melahirkan tindakan putus asa, bunuh diri dan berbagai pathologi sosial lainnya. Rasulullah dan para sahabatnya telah memberikan contoh yang jelas tentang perilaku jalan tengah (tawassuth) dalam kehidupan politik, pendidikan, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Cita-cita kebenaran Islam hendaklah dipahami bukan hanya untuk umat Islam sendiri akan tetapi berlaku secara universal. Dalam kaitan itulah, Islam tidak menjadikan simbol sebagai tujuan utama sekalipun hal itu penting akan tetapi yang utama adalah tercapainya susbtansi minimal sepanjang yang dapat diraih manusia. Penerimaan NU terhadap negara Pancasila sebagai bentuk final dari NKRI hendaklah dipahami bahwa menurut NU bentuk negara ini telah memenuhi tuntutan minimal terhadap sistim sebuah negara yang diidamkan. Tugas umat Islam dan bangsa secara keseluruhan tidak akan efektif manakala hanya sibuk dengan mempersoalkan bentuk dan dasar negara akan tetapi yang terpenting adalah semua warga negara maupun kelompok sosial hendaknya bverlomba berkontribusi untuk mengisi negara yang  bentuk minimal itu sehingga menghasilkan prestasi maksimal yaitu terwujudnya negara keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu NU berkewajiban membela warga masyarakat sekalipun kelompok minoritas manakala belum terpenuhi hak-hak pribadinya. Selanjutnya mendorong kelompok mayoritas untuk selalu berpikir dalam kerangka kepentingan bangsa yang lebih luas yang terlepas dari kepentingan kelompoknya. Bentuk negara yang dipraktekkan Rasulullah sendiri di Madinah adalah tuntutan minimal sebuah negara dalam konstruksi sosial. Artinya format ketatanegaraan itu masih dimungkinkan terus berkembang dalam proses sosial.

Perilaku tawazun memuat ajaran penting bagi kehidupan manusia. Dilihat dari sudut pola berpikir, sebagian lebih menggunggulkan teks wahyu tanpa mengindahkan bantuan akal. Cara berpikir kaum tekstualis (zahiri) tidak mampu menjelaskan relevansi wahyu dikaitkan dengan kehidupan karena akal berfungsi mengelaborasi makna wahyu dikaitkan dengan realitas kehidupan manusia. Sebaliknya corak berpikir yang memaksakan pendekatan kontekstualis dalam memahami wahyu dengan mengabaikan ruh syari’at pasti juga akan gagal menangkap pesan wahyu sebagai pedoman hidup bagi manusia. Lalu apabila demikian, apa bedanya agama sebagai wahyu Allah dengan filsafat sebagai hasil renungan manusia. Dilihat dari kerangka berpikir maka wahyu dan akal harus dikerjasamakan dalam memahami makna terdalam dari pesan-pesan ilahiah. Demikianlah halnya dengan pendidikan hendaklah dilihat sebagai proses untuk mendidik manusia agar menjadi makhluk ibadah dan khilafah karena dengan bergabungnya dua fungsi itu maka ilmu yang dihasilkan adalah bagian ibadah yang menghasilkan kebaikan (mashlahah) bagi kehidupan di alam semesta. Sebagaimana disaksikan dalam realitas sosial, kelompok bangsa yang hanya menekankan spritualitas nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa karena pola berpikir yang demikian lebih dekat kepada makna utopis. Islam bisa menjadi tertuduh, oleh karena selalu membawa jargon islam sesuai untuk segala masa dan ruang (al Islam shalihun likulli zaman wa makan), aplikasi hukum disandarkan kepada kepentingannya (tasharruf al ahkam manuthun bil maslahat) dan lain sebagainya namun dalam kenyataannya umat Islam berada di posisi masyarakat yang masih tertinggal. Sebaliknya pola berpikir yang melahirkan sekulerisme, agnostisisme, ateisme justru bukannya melahirkan masyarakat sejahtera akan tetapi yang terjadi adalah  semakin suburnya konflik masyarakat kaya dengan miskin. Karena yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil manusia dengan alasan kebebasan hak pribadi.

Di samping itu, dalam imnplementasi konsep tawazun, harus ada kemauan kita untuk menata ulang format pendidikan di Indonesia bukan saja dari segi penganggaran akan tetapi yang terpenting adalah membangun sikap keseimbangan (tawazun) antara antara kecerdasan dengan kematangan kepribadian. Pola pendidikan yang selama ini lebih fokus pada pengembangan kecerdasan ternyata juga melahirkan berbagai pathologi sosial karena bangsa ini memiliki banyak orang pintar akan tetapi kehidupan masyarakat masih tetap tertinggal dari bangsa lain. Kecerdasan harus berjalan beriring dengan kesadaran sebagai makhluk Allah yang berkewajiban membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dalam penataan relasi sosial, pola keseimbangan itu diwujudkan dalam keterbukaan sikap yang dilandasi oleh prasangka baik (husnnuzzan) terhadap orang lain sekalipun merupakan lawan politik. Para pemimpin politik di negeri ini agaknya masih belum sadar sepenuhnya makna kehidupan berpolitik karena yang lebih dominan adalah egoisme pribadi sehingga merasa bahwa setiap ide kebenaran harus datang dari kelompok atau partai sendiri dan sulit menerima kebenaran sebuah ide yang datang dari kelompok atau partai lain. Sehingga pemahaman terhadap kemenangan atau kekalahan dalam pertarungan politik selalu dimaknai dalam arti yang sempit. Pola pemahaman para politisi yang demikian akan menimbulkan kesan skeptis masyarakat terhadap kinerja perpolitikan di tanah air. Hal ini berlawanan dengan karakter dasar bangsa Indonesia yang pemaaf dan santun. NU telah mengembangkan sikap keseimbangan itu melalui kepemimpinan yang berada pada dua bilik syuriah dan tanfiziah. Bilik syuriah adalah yang mengendalikan kebijakan strategis organisasi dan memegang otoritas penatapan sebuah keputusan hukum sementara bilik tanfiziah adalah pemegang otoritas dalam pelaksanaan program organisasi. Oleh karena Islam adalah sebagai pedoman hidup, maka perumusan tentang Islam tidak boleh dalam bentuk pemikiran spekulatif akan tetapi harus dalam bentuk kepastian.

Prinsip ketiga adalah i’tidal yaitu keberanian dan kemampuan untuk berpikir, bersikap dan bertindak secara konsekwen. Aswaja menegaskan bahwa harus ada kemauan dan keberanian untuk melakukan pilihan sosial maupun politik sekalipun pilihan itu sifatnya sulit. Tidak ada kompromi terhadap hal prinsip yang berkenaan dengan akidah dan ibadah. Disinilah letak kebenaran normatif yang terdapat pada semua agama yang sifatnya eksklusif. Oleh karena itu tidak dimungkinkan terjadi tawar menawar dalam dua hal itu. Akan tetapi penyampaian ketegasan sikap tersebut selalu dengan cara yang santun, sejuk dan damai sehingga membangun keyakinan yang sama pada kelompok lain (Q.S. Ali ’Imran [3] 159). Selanjutnya, sikap yang konsekwen itu juga tercermin dalam pola relasi sosial yaitu sikap bijak dan kompromi dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan bangsa secara bersama. Ada saatnya NU harus bersikap tegas khususnya penyelamatan akidah dan ibadah umat melalui pengiriman delegasi Komite Hijaz pada tahun 1926 untuk melobi penguasa Wahabi ke Saudi Arabia, penyelamatan NKRI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, penyelamatan wibawa kepala negara pada tahun 1950-an yang menegaskan Soekarno memenuhi fungsi sebagai waliyyul amri dlaruri bisy syaukah, penyelamatan RI ketika terjadi huru hara politik tahun 1965 dan lain sebagainya.

Menilik hal di atas, NU, demikian juga agaknya kepada ormas lainnya, ke depan hendaknya tidak hanya sensitif dalam hal yang berkaitan dengan perpolitikan  sebagaimana yang menonjol pada masa kini  karena penyelenggaraan otonomi daerah,  pilkada, pileg dan pilpres justru lebih banyak berdampak negatif kepada NU yang membuka peluang terjadinya fragmentasi umat ke dalam kelompok-kelompok yang semakin mengecil solidaritas sosialnya. Akan tetapi, NU, hendaknya semakin kreatif memberikan pelayanan dan pemberdayaan kepada warganya di bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum sehingga warga pada lapisan akar rumput (grass root) semakin merasa pentingnya kehadiran NU di tengah kegalauan moderen.

Oleh : Fauzinuddin Faiz

Penulis adalah Dosen IAIN Jember dan Ketua LTN-NU Jember.