KH. Sofwan Abu: Sang Perintis NU dan Mata Rantai Sanad dari Mbah Hasyim Asy’ari di Jember

(Foto ; Eko Wahyudi, KH. Sofwan Abu Bin KH. Abd Rohim.)

Oleh: Eko Wahyudi

Jember, pcnujember.or.id – Dalam peta sejarah Nahdlatul Ulama (NU), nama KH. Sofwan Abu Bin KH. Abd Rohim mungkin tak sebesar para ulama dari pusat Jawa. Namun, di tanah Jember, khususnya Kecamatan Sumberbaru, dialah arsitek spiritual yang meletakkan fondasi keilmuan dan organisasi NU dengan kokoh. Kisah hidupnya adalah teladan tentang ketaatan pada guru, ketekunan menuntut ilmu, dan pengabdian tanpa batas pada umat, yang puncaknya adalah perintisan MWC NU Sumberbaru.

KH. Sofwan Abu lahir di Manyar, Gresik, Jawa Timur, pada 3 Maret 1907. Gairahnya pada ilmu agama telah tampak sejak muda, membawanya merantau ke Pesantren Sidogiri, Pasuruan, untuk membentuk dasar-dasar keilmuannya.

Perjalanan intelektualnya justru menemukan puncaknya ketika ia berkesempatan belajar langsung di bawah bimbingan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Di bawah asuhan sang “Rais Akbar” NU itu, karakter dan pandangan keagamaannya yang moderat terbentuk. Pengakuan Sang Guru pun tiba. KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang memerintahkannya untuk melanjutkan studi ke Mekkah, sebuah kepercayaan dan amanah yang hanya diberikan kepada murid-murid terpilih.

Baca Juga:  Berantas Covid-19 Ranting NU Rambipuji Kota Gandeng Pemdes

Pulang dari Tanah Suci, sang kiai muda memulai misi dakwahnya. Titik pertama adalah di Pulau Bawean, Gresik, di mana beliau membina masyarakat dan meminang seorang putri setempat, Ibu Nyai Hj. Maswari, yang kelak menjadi pendamping setia perjuangannya.

Tak lama berselang, tugas dakwah membawanya ke babak baru. Beliau diperintahkan untuk berpindah ke sebuah desa di ujung timur Jember, yaitu Desa Yosorati, Kecamatan Sumberbaru. Kepindahan ini adalah sebuah misi strategis untuk menancapkan panji-panji keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah di wilayah yang masih membutuhkan sentuhan dakwah.

Di Yosorati, KH. Sofwan Abu tak membuang waktu. Beliau segera mendirikan Pondok Pesantren yang menjadi pusat gravitasi pendidikan agama dan pembinaan moral masyarakat. Pesantren inilah yang menjadi medium utama kaderisasi ulama dan kader NU lokal.

Baca Juga:  Ketua Tanfidziyah MWCNU Wuluhan: Mari Lestarikan Amal Baik

Bersamaan dengan itu, peran organisasinya pun bersinar. Beliau adalah salah satu pendiri sekaligus Rais Syuriah pertama MWC NU Sumberbaru. Kedalaman ilmu dan sanad keilmuannya yang bersambung langsung ke KH. Hasyim Asy’ari menjadikannya figur yang dihormati. Amanah sebagai Rais Syuriah ini beliau emban dengan sempurna selama tiga periode berturut-turut, hingga akhir hayatnya.

Sebagai pengakuan atas kesalehan dan kedalaman ilmunya, KH. Hasyim Asy’ari menganugerahkan sebuah surban kepada KH. Sofwan Abu. Surban ini bukan sekadar kain, melainkan pusaka simbolis yang menjadi bukti fisik mata rantai sanad (transmisi keilmuan) yang bersambung dari salah satu ulama terbesar Nusantara. Benda ini menjadi harta karun tak ternilai bagi keluarga dan pesantren, mengingatkan setiap generasi tentang asal-usul keilmuan mereka.

Baca Juga:  Vaksinasi MWC NU Mayang Disambut Antusias Tinggi Masyarakat

KH. Sofwan Abu wafat pada 18 Januari 1971. Namun, warisannya tetap hidup. Jejak perjuangannya terpateri dalam lembaga pendidikan yang terus berkarya, struktur NU yang kokoh di Sumberbaru, dan keteladanan seorang ulama yang seluruh hidupnya adalah pengabdian. Figur seperti KH. Sofwan Abu adalah pengingat bahwa cahaya ilmu dan dakwah kerap bersinar justru dari tempat-tempat yang tidak selalu ramai diperbincangkan.

*Penulis Adalah Ketua PAC GP Ansor Sumberbaru

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *