Opini  

Santri Milenial; Ngaji, Kreasi Dan Inovasi (Peran Pesantren Dalam Membentuk Karakter Mahasantri)

Oleh; Zainal Anshari Marli

Peran Pesantren Dalam pendidikan

Setiap kita yang sadar akan kondisi pendidikan nasional, kita harus mawas diri, kita harus merefleksikan kualitas perilaku sehari-hari, guna menjadi manusia yang baik sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, karna kita semua pada hakekatnya adalah pendidik (red, guru). Mari kita lihat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberapa tahun terakhir, pada tahun 2015 terdapat 218 kasus kekerasan seksual kepada anak. Pada tahun 2016, KPAI mencatat ada 120 kasus kekerasan seksual. Dan pada tahun 2017 terdapat 116 kasus kekerasan seksual. Anehnya yang paling banyak menjadi pelakunya adalah orang terdekat, ayah tiri, ayah kandung dan keluarga terdekat lainnya.

Bahkan menurut data KPAI, secara umum angka kekerasan kepada anak selalu naik setiap tahunnya. KPAI menyajikan data dari sejak tahun 2011 sampai 2014, angkanya sangat fantastis. Angka yang disajikan tahun 2011 terkait kekerasan kepada anak sebanyak 2.178 kasus. Tahun 2012 terdapat 3.512 kasus kekerasan. 2013 ada 4311 kasus. Tahun 2014 ada 5.066 kasus kekerasan. Angka ini disampaikan Maria Advianti wakil ketua KPAI beberapa tahun silam.

Saudara, jika kita membaca hasil penelitian Prof. Nur Syam, yang diterbitkan LKIS Yogyakarta berjudul Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental (2011), maka kita akan merasakan betapa setiap orang tua harus khawatir dengan masa depan putra-putrinya. Sebab dunia pelacuran sejatinya bukan dunia lain yang dibentuk atas azas kesukarelaan para penghuninya. Namun dunia itu muncul akibat bagian dari ketiadaan (red, lemah) kekuatan kontrol yang diberikan oleh para orang tua terhadap aktifitas putra-putrinya.

Sebuah buku yang ditulis oleh Nur Syam, Agama Pelacur dan tulisan Moammar Emka, Jakarta Undercover; Sex in the City, serta Jakarta Undercover #3; Forbidden City, setidaknya perlu menjadi perhatian bersama, agar kita tidak terjerembab dalam jurang yang curam nan dalam yang akan mengantarkan kita gagal berbangsa dan bernegara serta menjadikan kita komunitas yang gagal pula untuk beradab dan bermoral.

Isi tulisan ini, agar kita sebagai orang tua, belajar dari konsep berikut ini; “Pertama, jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Kedua, jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Ketiga, jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Keempat, jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Kelima, jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Keenam, jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Ketujuh, jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Kedelapan, jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan. Kesembilan, jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Kesepuluh, jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyayangi dirinya. Kesebelas, jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan” (Moh. Roqib, 2011: 66).

Kita dapat membayangkan, di tengah-tengah persaingan negara-negara maju untuk meningkatkan kualitas SDM anak negerinya, kita dapat membandingkan dengan Negara ini. Misalkan penyajian data oleh Zamakhsyari Dhofier, ia menulis, antara China dan AS terjadi persaingan yang sangat kuat, AS yang setiap tahunnya meluluskan sekitar 150.000 insinyur teknik, sedangkan China meluluskan 600.000 insinyur teknik, sementara Indonesia masih jauh dari angka tersebut, sebagai akibat ketidakmampuan kelurga membiayai pendidikan anak-anaknya, ditambah kebijakan dan keberpihakan Negara yang belum dirasakan secara merata oleh rakyat Indonesia, misalnya dalam aspek pendidikan.

Ketika Indonesia baru merdeka, masih menurut Dhofier, hanya memiliki sarjana sekitar 175 orang. Kita bisa membayangkan, dengan 175 orang tersebut akankah Indonesia dapat mengalami kemajuan yang cepat. Sementara mereka berpusat di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Lalu, bagaimana dengan daerah-daerah kepulaun? kita saja dapat menilai dengan akal sehat, bagaimana kira-kira perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Mahasiswa Islam Indonesia, dirasuki melalui kekuatan-kekuatan Islam trans nasionalis, pendanaan yang sungguh luar biasa, jaringan kaderisasi yang menguat, dan mazhab-mazhab Islam cosmopolitan (Abdurrahman Wahid, 2009). Yang menjadi ancaman adalah kampus-kampus perguruan tinggi umum negeri (PTUN). Semisal, UI, ITB, IPB, UNS, UGM, UNAIR, UM, UNMER, ITS, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, PTAI bukan tidak menjadi ancaman dan sasaran, yang paling baik adalah harus selalu waspada.

Pesantren atau pendidikan Islam telah melahirkan lembaga pendidikan sebagai berikut; MI, MTs, MA, MAK/ MAPK, MAN, STAIN, IAIN, UIN, dan Universitas Islam swasta lainnya. Begitu besar peran pesantren untuk negeri ini, sehingga penjajah yang hendak kembali ke Indonesia, pertama-tama harus menghadapi para pejuang yang lahir dari Rahim Pesantren. Dimanakah peran pesantren? Disinilah secara nyata yang menghalau gerakan destruktrif bangsa lain masuk ke Indonesia adalah dunia pesantren.

           

Peran Pesantren Dalam Politik

Kata Presiden Joko Widodo, (Rabu, 21 Februari 2018, jam 16:50), ketika membuka munas jamaah dzikir hubbul wathon di Jakarta, “di Indonesia terdapat 714 suku, dengan beragam agama, pulau, bahasa, dan keyakinan” tentu sangat rentan dengan adanya provokasi dan upaya-upaya yang akan melemahkan bangsa Indonesia. Dalam hemat kami, kekerasan kepada anak-anak yang bertubi-tubi, juga dapat menjadi ancaman bagi proses keberlangsungan bangsa Indonesia yang sangat kaya dengan kemajemukan ini.

Di sisi yang lain, dalam sebuah data tertulis disebutkan sebagai berikut; 

“Majalah Forbes merilis orang paling kaya di dunia 2013, dan Indonesia menyumbang 24 orang dari 1.426 orang terkaya sejagat. Nilai kekayaan rata-rata orang-orang ini adalah US$3,8 miliar, naik 3 persen dibandingkan data pada 2012. Sedangkan total kekayaan mereka ini mencapai US$5,4 triliun, naik dibandingkan US$4,6 triliun tahun lalu. Wakil-wakil Amerika Serikat tetap yang terbanyak, mencapai 442 orang, diikuti oleh negara-negara Asia Pasifik 386 orang, Eropa (366), Amerika (129), serta Timur Tengah dan Afrika (103). Dari 386 orang terkaya Asia Pasifik, terdapat 24 orang kaya yang berasal dari Indonesia. Keluarga Hartono masih memimpin daftar orang terkaya di Indonesia”.

Anak bangsa wajib hukumnya mengetahui skenario politik tahun 1965-1966, sebab jika anak bangsa tidak mengetahui sejarah itu, maka Soeharto akan mendapatkan pembenaran sejarah di masa-masa yang akan datang. Konsolidasi yang dilakukan Soeharto untuk menggulingkan Soekarno, berkat bantuan beberapa negara yang memiliki kepentingan untuk masa depan bangsa Indonesia, misalkan: Jepang, Inggris, Jerman dan Australia, Amerika Serikat. Penggulingan kekuasaan dan pembantaian massal masyarakat sipil, dilakukan oleh militer, dengan bantuan Amerika Serikat dan CIA, Yayasan Ford Rand (ford foundation), rand corporation, serta perorangan. Dari gerakan pembantaian tersebut, sehingga berbuntut pembunuhan terhadap beberapa jenderal yang diperkirakan akan menjadi saingan Soeharto ketika kudeta kelak dia lakukan. Makanya, ketika kudeta terjadi, dengan sangat mulus, ia tampil dengan lenggang-lenggong sebagai pengganti Soekarno (Harold Crouch, Suatu Sorotan Lain Terhadap “Coup” 1965, (Jakarta: Taswirul Afkar, edisi No. 15 tahun 2003) hal: 80-108).

Peran pesantren dalam politik, awalnya berbaur semua golongan Islam dalam satu partai politik bernama MASYUMI. Lalu selanjutnya, berdirilah partai NU, kemudian berfusi menjadi PPP dan tokoh-tokoh NU (seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH. Abdul Muchith Muzadi, KH. Mustofa Bisri, KH. Makruf Amin) sempat mendirikan PKB. Sampai saat ini ada dua partai yang banyak mewakili suara kalangan muslim, yaitu PPP dan PKB.

Sehingga lahirlah pemimpin politik yang merepresentasikan ummat Islam seperti; Dr. KH. Idam Kholid (DPR RI), Hamzah Haz (PPP-DPR dan Wapres Megawati), KH. Yusuf Muhammad (DPR RI), Dr. Surya Dharma Ali (DPR RI dan Menteri), Dr. Ali Masykur Musa (DPR RI dan BPK RI), Dr. Muhaimin Iskandar (DPR RI dan Menteri), Khofifah Indar Parawansa (DPR RI dan Menteri), Ida Fauziyah (DPR RI), Dr. Imam Nahrawi (DPR RI dan Menteri), Khanif Dakhiri (DPR RI dan Menteri), Marwan Jakfar (DPR RI dan Menteri), Lukman Hakim Saifuddin (DPR RI dan Menteri), Muhammad Yusuf Kalla (JK) (DPR RI, Menteri dan Wapres), Saifullah Yusuf (DPR RI, Menteri dan Wagub Jawa Timur).

Yang muncul ditingkat lokal adalah; Amin Said Husni (Bondowoso), Thoriqul Haq (Lumajang), Badrut Tamam (Pamekasan), Abdullah Azwar Anas (Banyuwangi), Yusuf Nuris (Banyuwangi), KH. Abdul Muqit Arif (Jember), KH. As’at Malik (Lumajang), Gus Hasan Aminuddin (Kabupaten Probolinggo), KH. A. Busyro Karim (Bupati Sumenep), KH. Khalilur Rahman (Bupati Sampang), KH. Fuad Amin (Bupati Bangkalan), Habib Hadi Zainal Abidin (Kota Probolinggo), TGB Zainul Majdi (Gubernur NTB), Taj Yasin (Wagub Jawa Tengah), Ridlwan Kamil (Gubernur Jawa Barat terpilih) Uu Ruzanul Ulum (Wagub Jawa Barat terpilih), Emil Dardak (Wagub Jatim Terpilih) dan lain sebagainya.

Begitu besar peran pesantren dalam politik, bukan hanya mengirimkan kadernya untuk menjadi pejabat public. Tapi pesantren juga mendorong wakilnya untuk melahirkan Undang-Undang yang mencerminkan peraturan Islam lahir dalam sebuah Undang-Undang atau qonun. Sehingga tidak terhitung berapa besarnya kontribusi pesantren untuk negeri ini. Bahkan NU dengan Ansor-Bansernya, yang berjumlah lebih dari 4 juta anggota, selalu tampil terdepan dalam menghalau gerakan anti NKRI, ini juga merupakan kontribusi tak ternilai dari kiai dan pesantren di Indonesia. Karena keberhasilan pesantren inilah dalam mendidik putra-putri bangsa banyak “kelompok atau golongan lain” yang juga mendirikan pesantren, namun tujuannya tidak sama dengan pesantren yang di dirikan oleh kiai-kiai NU. (red, PP. Al Khozini di bawah kepengasuhan Gus Khozin ini, termasuk pesantren yang akan menjaga keutuhan NKRI dimaksud).

 

Peran Pesantren dalam Gerakan Sosial

Salah satu topik Radar Jember pada Rabu, 8/10/2014: 01-11, tentang “Fenomena gunung Es kasus HIV AIDS di Jember”, disebutkan jumlah penderita yang terdata 1.335 orang dengan HIV AIDS (ODHA). Hal ini juga pernah disampaikan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Jember, bapak HM. Thamrin dalam sebuah pelantikan Dewan Pengurus Daerah Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (DPD BKPRMI) Jember, Ahad, 24/8/2014 yang lalu di gedung II SD Al-Baitul Amien Jember.

Pada bulan Mei yang lalu, Metro TV melansir data, sekitar 1.500 orang di Jember terdeteksi virus HIV/AIDS. Menurut salah seorang konselor di RSUD dr. Soebandi Jember, menyampaikan kepada saya, bahwa data yang sebenarnya lebih dari 2.000-an pasien penderita HIV/AIDS di Jember. hal ini cukup membahayakan, adakah peran pesantren dalam menanggulangi hal tersebut, sangat besar peran yang diberikan pesantren. Pesantren secara nyata, “mengamankan” anak-anak didiknya dari pergaulan bebas, bukan hanya dengan masyarakat umum, bahkan dengan sesame santrinya, pesantren sangat memeilihara anak-anak didik tersebut.

Disisi lain, pesantren telah melahirkan lembaga semacam, P3M (konsentrasi pesantren), LKIS (konsentrasi pendampingan dan penerbitan), ELSAD (konsentrasi pendampingan dan penerbitan), dan beberapa lembaga kajian keilmuan yang dibidani oleh alumni-alumni pesantren yang secara nyata memberikan kontribusi kepada masyarakat. Ada juga CDBRM NU (yang konsen pada menjaga lingkungan dan pelestarian hutan dan alam) dan lain sebagainya.

 

Peran pesantren dalam membentuk karakter mahasantri

            Dalam konteks ini, masih perlukah pertnyaan tentang kontribusi dalam membentuk karakter mahasantri?

Pertanyaan tersebut dapat kita jawab sebagai berikut;

  1. Pesantren telah mengajarkan kita kenal kepada Allah dan Rasulnya,
  2. Pesantren telah mengajarkan kita kepada tatakrama personal dan sosial,
  3. Pesantren telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersamaan,
  4. Pesantren telah mengajarkan kepada kita akan kepedulian antar sesama,
  5. Pesantren telah mengajarkan kita akan hidup sederhana dan tidak melampui batas,
  6. Pesantren telah mengajarkan kita akan komitmen untuk selalu mencari ilmu pengetahuan,
  7. Pesantren telah mengajarkan kita untuk selalu berkomitmen menjaga NKRI,
  8. Pesantren telah mengajarkan kita akan komitmen menghormati dan menghargai orang tua,
  9. Pesantren telah mengajarkan kepada kita betapa penting dan berharganya hormat kepada guru dan kepada orang yang lebih tua,
  10. Pesantren telah mengajarkan kepada kita akan keseriusan dan komitmen kita kepada ilmu pengetahuan. Dan lain sebagainya.

Begitu banyak karakter yang dapat dilahirkan pendidikan pesantren, baik yang menyangkut sikap personal, sikap social atau sikap public yang sungguh menghangatkan anak-anak pesantren ketika hadir dan tampil ditengah-tengah masyarakat. Masihkah kita akan bertanya, apa kontribusi pesantren ini untuk negeri ini?

Wallahu A’lamu Bi Showab