Baca! Melihat Corona dari Perspektif Aqidah dan Fiqih

Segala tindakan yang mendatangkan potensi bahaya, secara fiqih tergolong sebagai tindakan yang haram, meskipun berdasarkan pada aqidah yang benar.

Di tengah merebaknya virus Corona di dunia saat ini, selalu saja ada dua golongan yang ekstrem dalam bersikap. Salah satu pihak berlebihan dalam dalam mengantisipasi sehingga menimbulkan kepanikan, pihak lainnya berlebihan dalam meremehkannya hingga menimbulkan bahaya bagi yang lain. Terkait kepanikan, ini akan menimbulkan kerugian besar sehingga layak dihindari. Tapi terkait tindakan meremehkan, maka bukan hanya potensi kerugian yang datang melainkan potensi kematian, bagi diri sendiri atau orang lain. Karena itulah maka seharusnya kewaspadaan perlu diutamakan.

Namun demikian, beberapa orang menunjukkan keberanian di muka publik bahwa mereka tak takut virus apa pun, sebab yang ditakuti hanyalah Allah. Dari segi aqidah, pernyataan itu benar sebab tak ada yang dapat menyebabkan orang menjadi sakit kecuali Allah.

Dari sudut pandang aqidah inilah Rasulullah bersabda:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللهِ فَمَا بَالُ إِبِلِي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيَأْتِي الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلُ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ

“Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidak ada ‘adwa (meyakini bahwa penyakit tersebar dengan sendirinya, bukan karena takdir Allah), dan tidak ada shafar (menjadikan bulan Shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula hammah (rengkarnasi atau ruh seseorang yang sudah meninggal menitis pada hewan).’ Lalu seorang Arab Badui berkata; “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan unta yang ada di pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang kemudian datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Siapakah yang menulari yang pertama’.” (HR. al-Bukhari).

Secara aqidah, memang harus diyakini bahwa hanya Allah yang menentukan sakit tidaknya seseorang, seperti di hadits di atas. Pengamalan hadits itu adalah jangan sampai diyakini ada suatu penyakit atau wabah yang muncul di luar kehendak dan kontrol Allah.

Tetapi aqidah bukanlah satu-satunya persoalan. Masih ada urusan fiqih yang perlu diperhatikan. Dalam ranah fiqih, perlu diperhatikan usaha apa saja yang berdampak positif dan negatif. Usaha yang berdampak positif perlu dilakukan dan yang sebaliknya perlu ditinggalkan. Ini adalah kaidah universal yang harus jadi pedoman umum, termasuk dalam hal menyikapi virus corona ini.

Usaha positif yang diajarkan oleh Rasulullah dalam menangkal penyebaran wabah antara lain:

1. Menjaga Higienitas Makanan 

Memastikan makanan dan minuman selalu dalam kondisi higienis adalah langkah antisipasi yang penting untuk menangkal penyakit atau wabah. Ini adalah langkah yang seyogianya dilakukan setiap Muslim setiap harinya. Rasulullah menginstruksikan:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ

“Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tutuplah bejana-bejana, dan ikatlah tempat-tempat minuman, karena di suatu malam pada setiap tahunnya akan ada wabah penyakit (berbahaya) yang akan jatuh ke dalam bejana dan ke tempat-tempat air yang tidak tertutup” (HR. Muslim).

2. Mengisolasi Area Wabah

Apabila wabah sudah menyebar di suatu tempat, maka isolasi adalah langkah yang diajarkan oleh Rasulullah. Beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut” (HR. al-Bukhari).

Wabah lepra dalam hadis tersebut hanyalah sekedar contoh sebab di masa lalu, wabah yang populer dan memakan banyak korban jiwa adalah lepra. Sedangkan hukum isolasi itu sendiri berlaku bagi semua wabah, termasuk Corona. Isolasi ini dapat mencegah penyebaran wabah ke daerah lebih luas, namun di satu sisi akan menyebabkan orang yang berada di daerah wabah akan ikut terdampak wabah juga. Dalam hal ini kemudian Rasulullah bersabda bahwa wabah tersebut akan menjadi siksaan bagi orang yang tidak beriman tetapi akan menjadi rahmat Allah bagi mereka yang beriman, bahkan Muslim yang terkena wabah dan bersabar akan mendapatkan pahala mati syahid.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

“Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah tha’un lalu beliau mengabarkan aku bahwa tha’un (penyakit sampar, pes, lepra) adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi kaum Muslimin dan tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid” (HR. al-Bukhari).

Dengan demikian, sangat tidak tepat apabila ada seorang Muslim yang meremehkan peredaran wabah atau justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan instruksi Rasulullah di atas, misalnya dengan menampakkan keberanian menolak tindakan isolasi wabah. Tindakan ini pada hakikatnya bukan keberanian tetapi kecerobohan yang menyebabkan bahaya bagi orang lain. Segala tindakan yang mendatangkan potensi bahaya, secara fiqih tergolong sebagai tindakan yang haram, meskipun berdasarkan pada aqidah yang benar.

Demikian pula Nabi Muhammad, meskipun beliau mengajarkan bahwa tak ada penyakit yang dapat menular dengan sendirinya tanpa kontrol dari Allah, namun di waktu yang sama beliau juga menginstruksikan agar yang sakit tidak bercampur baur dengan yang sehat supaya tak terjadi penularan. Beliau bersabda:

قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ

“Abu Salamah bin Abdurrahman berkata; saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari).

Taat pada instruksi Rasulullah di atas bukan berarti takut pada selain Allah, melainkan justru wujud pemahaman agama yang baik serta ikhtiar yang nyata untuk berbuat baik pada sesama.  Wallahu a’lam.

Ustadz Abdul Wahab Ahmad. (peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember).

Sumber: NU Online https://islam.nu.or.id/post/read/117874/melihat-corona-dari-perspektif-aqidah-dan-fiqih