Seakan menjadi lumrah dikalangan masyarakat kita, membangun dan menghias kuburan leluluhur mereka. Pemandangan ini menjadi masalah serius ketika setiap tahun angka kematian bertambah, menjadikan semakin sempitnya lokasi pemakaman.
Permasalahan klasik ini sudah dibahas dalam deretan kitab Hadits dan pendapat para ulama, yang tertulis di berbagai karya mereka. Faktanya masyarakat awam masih banyak yang belum memahami secara utuh akan hal itu.
Ada dua pertanyaan mendasar, bagaimanakah hukum membangun kuburan di tanah sendiri dan di pemakaman umum?. Dan bagaimana jika yang dibangun itu makam Para Nabi atau Ulama?
Membangun kuburan di pemakaman umum atau menghiasnya tidak dibenarkan menurut syariat Islam, sebagaimana Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة حدثنا حفص بن غياث عن ابن جريج عن أبى الزبير عن جابر قال نهى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه
“Bercerita kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah, bercerita kepadaku Hafs bin Ghiyats dari Ibnu Juraij dai Abi Zubair dari Jabir, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memberi kapur pada kuburan, duduk di atas kuburan, dan membangun di atasnya”. (HR. Muslim) .
Terdapat tiga larangan dalam sabda Nabi di atas, pertama; memberi kapur, kedua; duduk di atas kuburan dan ketiga; membangun kuburan.
Imam Abdurrahman Al-Jaziri menyebutkan dalam kitab al-Fiqhi ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, bahwa makruh hukumnya jika tidak ada tujuan untuk hiasan dan kesombongan, Apabila terdapat tujuan tersebut, maka hukumnya haram. Keharaman ini disepakati oleh tiga Imam Madzhab, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. (al-Fiqhi ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hlm. 487).
Hukum makruh ini berlaku, jika tanah yang digunakan adalah tanah pribadi, apabila tanah tersebut berupa tanah musabbalah (pemakaman umum) atau tanah wakaf, hukumnya muthlaq diharamkan.
Imam Syafi’i menuliskan dalam kitab Al-Um, sebagai berikut:
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة.
“Dan aku senang apabila kuburan atau pemakaman itu tidak dibangun dan tidak dikapur (disemen), karena hal tersebut menyerupai perhiasan dan kesombongan, dan orang yang telah mati bukanlah ditempatkan pada salah satu diantara perhiasan dan kesombongan, dan aku tidak pernah melihat kuburan sahabat Muhajirin dan Anshar yang dikapur (disemen).”
Termasuk yang menjadi alasan haram adalah terjadinya penyempitan lahan secara cepat dan menghalangi yang lain untuk menguburkan orang-orang setelahnya. (Hasyiah Al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, juz 1, hlm. 258).
Sedangkan membangun makam ulama, Imam Al-Bujairami mengatakan sebagian ulama mengecualikan hukum haram (membolehkan) membangun kuburan para Nabi, Syuhada, dan orang-orang shalih, meskipun dengan memberikan kubah di atasnya. Tujuannya adalah untuk berziarah ke makam-makam tersebut dan tabarrukan. (I’anath At-Thalibin, juz, 2 hlm. 120).
M. Iqbal, warga NU asal Kecamatan Panti Jember.
_____________________
- Lihat juga dalam kitab Rahmat Al-Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, Al-Hidayah, Surabaya hlm. 73. dan kitab Fathul Mu’in, Juz 2, hlm. 136-137.
- Lihat juga dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Juz. 1, hlm. 258.