Berita  

Teladan KH. Anwar Mansur, dalam menghormati dan menghargai orang lain

pcnujember.or.id – Pemandangan menarik terlihat di pentas utama Istighosah Kubro pagi ini, minggu (28/10) di Stadion Delta Raya Sidorajo. Hal tersebut dikarenakan saat Ra’is Syuriah PWNU Jatim, KH. Anwar Mansur sedang memegang sambil melihat ID Card dari panitia yang dikalungkannya.

Bagaimana tidak menarik perhatian?
Sebab beliau itu kan sebagai pimpinan tertinggi Pengurus NU untuk wilayah Jawa Timur, dan juga pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Lirboyo, Kediri. Sosok ulama kharismatik yang dawuhnya dipatuhi oleh ribuan santri.

Biasanya id card diperuntukkan bagi undangan khusus, agar mereka bisa memasuki arena acara, melalui jalur VIP dan dikawal oleh petugas. Namun mengapa Yai Anwar Mansur, yang sebagai pimpinan tertinggi dari penyelenggara, masih berkenan memakai id card dari panitia.

Apa mungkin panitia atau Banser yang mengawalnya, ketika Ra’is Syuriah itu datang tidak memperbolehkannya masuk melalui jalur VIP?.

Atau mungkin takut Banser tidak mengenalnya. Sebab hal ini pernah terjadi kepada Alm. KH. Sahal Mahfud yang dihadang Banser, tidak diperbolehkan masuk ke arena Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta 1989, sebab kemungkinan mereka belum mengenal secara langsung Kiai Sahal. (tirto.id/KH. Sahal Mahfud Begawan Fikih Sosial dari Kajen. 24 Januari 2018).

Toh, saat Banser tahu kalau itu Yai Mansur, pasti kegagahan mereka berubah menjadi tertunduk, berebut mencium tangannya. Itulah kegagahan banser, terkalahkan oleh ketakdzimannya kepada kiai. Keren kan….

Bisa saja tho, beliau menolak dengan halus untuk dipakaikan id card, umpamanya berkata begini:
“Jenengan mboten semerep nopo?. Saya kan pimpinan jenengan sedoyo”. Mungkin kalau saya begitu….

Hal ini menurut saya, merupakan teladan dari beliau. Meskipun beliau pimpinan tertinggi PWNU, namun masih berkenan memakai id card, karena menghormati dan menghargai kinerja panitia, yang sudah menyiapkan acara ini jauh-jauh hari.

Mungkin, beliau sedang mengamalkan hadits tentang “idkhalus surur”, yakni membuat orang lain senang (ngelegokne atine wong liyo: red jawa). Beliau tidak jumawa dengan predikatnya sebagai Kiai atau Ulama.

Demikianlah ketawadluan dan teladan ulama NU. yang patut kita tiru dan amalkan, sebagai santrinya, santri NU, Santri NKRI. (AAF)