Ila hadratin nabiyil musthafa sayyidina Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam, Alfatihah…….
Bagi kaum Nahdliyyin tentu tidak asing lagi dengan bacaan di atas,
rangkaian kalimat tersebut menjadi bacaan wajib manakala memandu acara tahlilan, istighasah, shalawatan dan lain sebagainya.
Fatihah kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi hadiah tawassul pertama yang di baca, kemudian saat berdoa, orang yang memimpin akan menghadiahkan seluruh bacaan-bacaan al-Qur’an, Dzikir dan selainnya kepada orang-orang yang telah di tentukan, diantaranya kepada Nabi Muhammad dengan kalimat sebagai berikut:
اللهم اجعل ثواب ما قرأناه وما تلوناه الى حضرة النبي المصطفى سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم
“Ya Allah jadikanlah pahala dari bacaan kami sampai ke hadirat Nabi al-Mushtafa Junjungan kami yakni Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Akan tetapi amaliah tersebut oleh sebagian kalangan di anggap bid’ah karena tidak pernah dipraktikkan oleh sahabat Nabi, sehingga tradisi yang telah mengakar di masyarakat terus di pertanyakan dalil yang membolehkannya.
Benarkah pernyataan tersebut? adakah dalil dibolehkannya hadiah fatihah untuk Nabi?
Menjawab kemusykilan tersebut, kita perhatikan keterangan para ulama berikut:
Al-Khathib As-Syarbiniy dalam kitabnya Mughni al-Mukhtaj Jilid 4 Halaman 111 mengatakan:
وَأَمَّا ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ إلَى سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَمَنَعَ الشَّيْخُ تَاجُ الدِّينِ الْفَزَارِيّ مِنْهُ وَعَلَّلَهُ بِأَنَّهُ لَا يَتَجَرَّأُ عَلَى الْجَنَابِ الرَّفِيعِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ، وَلَمْ يَأْذَنْ إلَّا فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ،
“Adapun Hukum mengirimkan pahala bacaan (Al-Qur’an) kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut Syaikh Tajuddin Al-Fazariy hukumnya dilarang, beliau memberikan alasan bahwa tidak boleh seorang bersikap lancang (bersikap berani) terhadap ketinggian Nabi kecuali dengan amaliah yang telah di izinkan melakukannya.” Diantara amalan yang di izinkan untuk Nabi ialah bershalawat dan mendoakannya Al-Wasilah kepadanya setelah adzan”.
Kesimpulan dari pendapat di atas ialah bahwa menurut Imam Al-Fazzari: “seseorang dilarang melakukan amaliah yang pahalanya akan di hadiahkan kepada Rasulullah, kecuali yang telah di izinkan, seperti membaca shalawat & meminta diberikan wasilah (Derajat tertinggi di surga) untuk nabi.
Masih dalam kitab yang sama sebagian ulama berpendapat demikian:
وَجَوَّزَهُ بَعْضُهُمْ وَاخْتَارَهُ السُّبْكِيُّ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا – كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمْرَةً بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ.
“Sebagian ulama memperbolehkan mengirimkan pahala bacaan Al-Quran kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam As-subki memilih pendapat ini dan beliau memperkuatnya dengan argumen bahwa Ibnu Umar sempat melakukan Umrah untuk Nabi, setelah Nabi wafat, padahal ibadah tersebut dilakukan Ibnu Umar tanpa ada wasiat dari beliau”.
Syekh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya Raddu al-Mukhtar Wa Hasiyah Ibnu ‘Abidin Jilid 2 Halaman 244 menyebutkan:
ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ
“Ibnu Hajar dalam kitab Fatawanya menuturkan, bahwa ibnu Taimiyyah melarang hadiah bacaan Al-Qur’an kepada Nabi dengan alasan tidak boleh bertindak lancang kepada nabi dengan melakukan amalih untuknya kecuali amalan yang telah di izinkan, seperti membaca shalawat kepada nabi dan mendoakan wasilah untuknya”
قَالَ: وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ، بِأَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمُرًا بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ.
Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan: “Imam As-Subki dan ulama lain menolak keras statement Ibnu Taimiyah, bahwa amaliah tersebut tidak perlu izin secara khusus dari Nabi, bukankah Ibnu Umar sempat melakukan Umrah untuk Nabi setelah Nabi wafat?”.
Syekh Sulaiman Al-jamal, Di dalam kitabnya Hasiyah Al-Jamal jilid 3 halaman 541, menyatakan:
وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ بَعْدَهَا مِنْ قَوْلِهِ اجْعَلْ ثَوَابَ ذَلِكَ أَوْ مِثْلَهُ مُقَدَّمًا إلَى حَضْرَتِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ جَائِزٌ كَمَا قَالَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَأَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ وَقَالَ: إنَّهُ حَسَنٌ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ
Artinya: Adapun hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yakni setelah membaca Al-Qur’an, mengucapkan doa “Ya allah Jadikanlah pahala dari bacaan tersebut atau semacamnya lebih dulu di haturkan ke Hadirat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, itu hukumnya boleh, sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirin, dan syeikh Al-Walid mengatakan bahwa Perbuatan tersebut baik dan sunnah di lakukan”.
Maka berdasarkan pernyataan para ulama di atas, kesimpulannya adalah melakukan ibadah dan amalan yang dihadiahkan untuk Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya dengan cara ibadah umrah seperti yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Umar, atau seperti tradisi masyarakat mengirimkan pahala bacaan Fatihah di awal tawasul dan di akhir doa, tidaklah dilarang bahkan sunnah untuk dikerjakan. Karena hal tersebut telah dicontohkan oleh Ibnu Umar, salah seorang yang berasal dari golongan sahabat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ustadz. Asep Jamaludin Azzahied bin Ahmad bin Zubair, Sekretaris LBM NU Jember dan Kordinator Bidang Aswaja For Masjid Aswaja NU Center Jember.