banner 728x250

Pengertian Aswaja dan Karakter Tawassuth, Tawazun, I’tidal

Doc. PCNU Jember : KH Muhyiddin Abdusshomad Rais Syuriah PCNU Jember
banner 120x600

Oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad ( Rais Syuriyah PCNU Jember dan Pengarang buku Hujjah NU Aqidah-Amaliah-Tradisi )

pcnujember.or.id

banner 325x300

Pengertian Aswaja

Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.

1.  Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.

2.  Al-Sunnahyaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi  Saw , berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245).

3.  Al-Jama’ahyakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Saw pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr Z, Umar bin al-Khaththab Z, Utsman bin Affan Z dan Ali bin Abi Thalib Z). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah  SAW :

مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة َ(رواه الترمذي 209 والحاكم 1 / 77-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي).

“Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:

فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ  Tوَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ T فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80). 

Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah  SAW  (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi  SAW  pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80).

Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:

أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ  والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ . 

“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi T dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.”

Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalahIslam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi  SAW  dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.

Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf. Yakni:

1. Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.

2. Dalam masalah fiqhterwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.

3. Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali. 

Karakter Tawassuth, Tawazun, dan I’tidal

Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pertama, Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah Swt.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً (البقرة : ١٤٣)

“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah Swt menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. Al-Baqarah:143).

Keduam Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli). Firman Allah Swt.

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ (الحديد : ٢٥)

“Sungguh kamu telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dab neraca (penimbang keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Ketiga, Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam Alquran Allah berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المائدة : ٨)

“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Madinah:8).

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun, bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah Swt.

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ (طه : ٤٤)

“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. “ (QS. Thaha: 44).

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah, dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuj hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah.” (Tafsir Alquran al-Azhim, juz III, hal. 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dala beberapa hal di antaranya akidah, syari’ah, tashawwuf, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara, kebudayaan, dan dakwah.

Publisher : Irwansyah GI

banner 325x300