Beranda Ke-Aswaja-an Benarkah, Pujian-pujian Shalawat Setelah Adzan itu Bid’ah?

Benarkah, Pujian-pujian Shalawat Setelah Adzan itu Bid’ah?

0
22919
Foto Ilustrasi:NU Jember/Dok. Aswaja NU Jember

Sebelum mengerjakan shalat maktubah, seringkali kita mendengar pujian sholawatan yang biasanya dikumandangkan setelah adzan dan sebelum iqamah. Tradisi pujian ini mengakar kuat di tengah masyarakat Nusantara selama puluhan tahun.

Namun warisan tradisi leluhur tersebut, keberadaanya mulai terpinggirkan, bahkan kerap kali dituding sebagai amaliah tanpa berdalil. Amaliah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Di sisi lain, hal tersebut dianggap mengganggu ketenangan orang yang sedang menjalankan ibadah sunah sebelum maktubah. Misalnya shalat sunnah qabliyah, dzikir, atau pun yang sedang berdoa, pasalnya pujian tersebut di kumandangkan secara jahr (keras) melalui speaker masjid atau mushalla.

Lalu bagaiamanakah hukum sebenarnya tentang pujian sebelum sholat maktubah tersebut?. Benarkah sebagai amaliah yang menyalahi sunnah, dan dituding bid’ah?

Mari kita simak ulasannya berikut ini:

Ada banyak sekali amalan sunnah yang dapat dikerjakan, baik sebelum maupun sesudah shalat. Diantara kesunnahan tersebut adalah mengumandangkan adzan, sebagai tanda masuknya waktu shalat. sebagaimana dalam Hadits riwayat Imam Bukhari:

إِذا حضرت الصَّلَاة فليؤذن لكم أحدكُم وليؤمكم أكبركم

Artinya: “Ketika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam bagi kalian ialah orang yang lebih tua dari kalian semua”.

 Saat adzan berlangsung, kesunnahan berikutnya ialah menjawab adzan, bershalawat kepada Nabi, dan menyelesaikannya dengan doa, seperti Hadits berikut ini:

إِذَا سَمِعْتُمِ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَي صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Artinya: “Apabila kamu mendengar muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah seperti apa yang diucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali. Setelah itu mintalah kepada Allah Al-Wasilah untukku, karena wasilah itu suatu kedudukan (yang sangat luhur) di surga, yang tidak sepatutnya diberikan kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hambanya Allah, dan aku berharap akulah hamba tersebut, maka barang siapa yang memohon wasilah untukku maka dia mendapat syafaatku”.

Kesimpulan dari hadist tersebut ialah:

Pertama, Manakala seseorang mendengar adzan, maka sunnah menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ala shalah dan hayya ala falah” yang dijawab dengan bacaan dzikir la hawla wala quwwata illa billah.

Kedua, membaca sholawat kepada Nabi.

ketiga, berdoa kepada Allah untuk memberikan wasilah kepada Nabi Muhammmad SAW.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka perintah bershalawat setelah adzan sejatinya berdasar pada sunnah Nabi, namun pada tataran praktiknya muadzin atau masyarakat mengemas shalawat dengan model pujian-pujian, menggunakan nada khas daerah masing-masing. Baik perseorangan, bersama-sama, maupun bergantian.

Pujian shalawat tersebut biasa dilantunkan menggunakan speaker masjid dan dilakukan sebelum shalat berjamaah. Sehingga tradisi shalawat yang dikemas melalui model pujian seperti ini, menuai reaksi keras dari sebagian kalangan kecil yang menilainya sebagai amaliah bid’ah, dan tak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW maupun sahabat. Benarkah demikian?

Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam kitab Fatawa Al- Fiqhiyyah Al-Kubra mengatakan:

(فَائِدَةٌ) قَدْ أَحْدَثَ الْمُؤَذِّنُونَ الصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَقِبَ الْأَذَانِ لِلْفَرَائِضِ الْخَمْسِ؛ إلَّا الصُّبْحَ وَالْجُمُعَةَ فَإِنَّهُمْ يُقَدِّمُونَ ذَلِكَ فِيهِمَا عَلَى الْأَذَانِ؛ وَإِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهُمْ لَا يَفْعَلُونَهُ غَالِبًا لِضِيقِ وَقْتِهَا، وَكَانَ ابْتِدَاءُ حُدُوثِ ذَلِكَ فِي أَيَّامِ السُّلْطَانِ النَّاصِرِ صَلَاحِ الدِّينِ بْنِ أَيُّوبَ وَبِأَمْرِهِ فِي مِصْرَ وَأَعْمَالِهَا.

وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ الْحَاكِمَ الْمَخْذُولَ لَمَّا قُتِلَ أَمَرَتْ أُخْتُهُ الْمُؤَذِّنِينَ أَنْ يَقُولُوا فِي حَقِّ وَلَدِهِ السَّلَامُ عَلَى الْإِمَامِ الطَّاهِرِ، ثُمَّ اسْتَمَرَّ السَّلَامُ عَلَى الْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ إلَى أَنْ أَبْطَلَهُ صَلَاحُ الدِّينِ الْمَذْكُورُ وَجَعَلَ بَدَلَهُ الصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَنِعْمَ مَا فَعَلَ، فَجَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا وَلَقَدْ اُسْتُفْتِيَ مَشَايِخُنَا وَغَيْرُهُمْ فِي الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعْدَ الْأَذَانِ عَلَى الْكَيْفِيَّةِ الَّتِي يَفْعَلُهَا الْمُؤَذِّنُونَ فَأَفْتَوْا بِأَنَّ الْأَصْلَ سُنَّةٌ وَالْكَيْفِيَّةُ بِدْعَةٌ وَهُوَ ظَاهِرٌ كَمَا عُلِمَ مِمَّا قَرَّرْته مِنْ الْأَحَادِيثِ

Artinya: “Para muadzin sungguh telah melakukan pembaharuan, yakni melantunkan bacaan shalawat dan salam kepada nabi setelah adzan shalat fardlu, kecuali di waktu subuh dan di waktu hari jum’at, mereka melantunkan shalawat tersebut sebelum adzan, dan kecuali pada waktu maghrib, mereka tidak melakukannya (pujian shalawat) karena waktu yang terbatas”.

Tradisi ini awal mula ditemukan pada era kepemimpinan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, yang memerintahkan masyarakat Mesir beserta pejabat setempat untuk mengamalkannya. Inisiatif itu bermula ketika raja Mesir yang bernama Hakim Al-Mahdul telah meninggal karena dibunuh.

Adik perempuan dari Sultan Al-Hakim menginstruksikan kepada para muadzin untuk melantunkan pujian demi mengenang kematian kakaknya. Dengan melantunkan pujian setelah adzan yakni “salam sejahtera kepada imam yang suci”.

Seiring berjalannya waktu, redaksi pujian tersebut di tambahkan dengan menyebut nama-nama mantan khalifah setelah Hakim Al-Mahdul. Sampai pada nama Salahudin Al-Ayyubi menjabat sebagai Sultan, beliau merevisi kebiasan tersebut dan menggantinya dengan bacaan shalawat dan salam kepada Nabi. Sungguh inisiatif yang sangat baik sekali.

Atas dasar itulah, para ulama memberikan komentar tentang hukum pujian shalawat setelah adzan sesuai dengan cara-cara yg dilakukan oleh Muadz. Pada hakikatnya tradisi pujian tersebut adalah sunnah, mengenai tata caranya adalah bid’ah.

Syekh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu menyatakan bahwa bid’ah yang dimaksudkan di sini, oleh para fuqoha’ diarahkan pada bid’ah hasanah yang memiliki dasar sunnah.

Baca juga: Sejarah Peralihan Kiblat Umam Islam, dan Adanya Masjid Dua Kiblat

Senada dengan pernyataan tersebut, Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub menyatakan:

واما الصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم عقب الأذن فقد صرح الأشياخ بسنتهما ولا يشك مسلم في أنهما من أكبر العبادات والجهر بهما وكونهما على منارة لا يخرجهما عن السنية

Artinya: “Adapun hukum membaca (pujian) shalawat dan salam kepada Nabi setelah adzan, para masyakhi menjelaskan bahwa hukum keduanya ialah sunnah, dan seorang muslim tidak boleh meragukan bahwa shalawat dan salam merupakan salah satu ibadah yang sangat besar (pahalanya), adapun mengumandangkannya dengan suara keras yang dilakukan di atas menara (atau speaker), tidak menjadikan  shalawat dan salam tersebut keluar dari hukum keseunnahannya”.

Dari beberapa penjelasan di atas, maka melantunkan pujian shalawat setelah adzan dan sebelum Iqomah, hukumnya tidak bid’ah, bahkan selaras dengan sunnah dan merupakan anjuran para ulama salafus shalih. Jadi sangat disayangkan sekali bilamana tradisi pujian tersebut kini mulai ditinggal oleh generasi millenial saat ini. Seharusnya sebagai generasi millenial, kita harus senantiasa melestarikan warisan para leluhur yang mengajarkan Islam melalui dakwah yang rahmah dan ramah, serta menghormati kearifan budaya masyarakat Nusantara.

Penulis: M. Asep Jamaludin Az-zahid, Sekretaris LBM NU Jember.