Diantara peristiwa besar yang terjadi di bulan Sya’ban ialah peralihan kiblat umat Islam dari Baitil Maqdis (Masjid al-Aqsha) ke Ka’bah (Masjid al-Haram).
peristiwa ini menjadi bagian terpenting sejarah umat Islam yang diabadikan dalam Al-Quran:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan engkau ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”. (QS. Al-Baqarah: 144).
Mengomentari ayat di atas, Imam Abu Fida Ismail Ibn Katsir, mengatakan:
وَقَال عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ أَوَّلُ مَا نُسِخَ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَكَانَ أَهْلُهَا الْيَهُودَ، تحميلأَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، فَفَرِحَتِ الْيَهُودُ، فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يحب قبلة إبراهيم، وكان يَدْعُو وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ قَدْ نَرى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ [البقرة: 149] إلى قوله فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ.
“Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hukum yang pertama kali di nasakh dalam Al-Qur’an adalah kiblat. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah yang penduduknya mayoritas orang Yahudi, maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi untuk menghadap Baitil Maqdis (saat shalat), dengan ini bergembiralah orang Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Baitil Maqdis lebih dari 10 bulan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri lebih suka menghadap kiblatnya Nabi Ibrahim (Ka’bah), Rasulullah sering kali terlihat berdoa dan menengadahkan wajahnya ke langit menanti turunnya wahyu, kemudian Allah menurunkan wahyu yang di nanti, yakni perintah untuk kembali menghadap Ka’bah”. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1 Hlm. 272).
Baca juga: Benarkah, Puji-Pujian Shalawatan Setelah Adzan itu Bid’ah?
Kapan dan di Manakah Turunnya Ayat Tersebut?
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa peristiwa peralihan kiblat itu terjadi di pertengahan bulan Sya’ban, pada tahun ke dua Hijrah / 624 Masehi, menurut sebuah riwayat pada hari Selasa.
Syekh Al-Khudari mengatakan:
قَالَ الْجُمْهُوْرُ الْاَعْظَمُ مِنَ الْعُلَمَاءِ: اِنَّمَا صُرِّفَتْ فِي النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ عَلى رَأْسِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنَ الْهِجْرَةِ
“Mayoritas ulama mengatakan, peralihan Kiblat itu terjadi di pertengahan bulan Sya’ban, selama 18 bulan dari masa Hijrahnya Nabi.” (Nurul Yaqin fi Sirah Sayyidil Mursalin, halaman 96).
Imam Al-Qurtubi mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti, di dalam Kitab Jami’ul Bayan Fi Ahkamil Quran, Jilid 2 Halaman 150:
وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ الْبُسْتِيُّ: صَلَّى الْمُسْلِمُونَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ سَوَاءً، وَذَلِكَ أَنَّ قُدُومَهُ الْمَدِينَةَ كَانَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، وَأَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ باستقبال الكعبة الثُّلَاثَاءِ لِلنِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ.
Abu Hatim Al-Basti mengatakan: “kaum muslimin (selama di Madinah) menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 17 bulan lebih tiga hari, hal tersebut didasarkan bahwa kedatangan Rasulullah di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul Awal, kemudian Allah memerintahkan Nabi untuk menghadap Ka’bah pada hari Selasa di pertengahan bulan Sya’ban.”
Sehingga menurut Al-Basti, jika menghitung waktu antara tibanya Rasulullah di Madinah dan turunnya perintah ayat tersebut, maka akan terpaut masa 17 bulan lebih.
Mengenai tempat di turunkannya Ayat tersebut, Al-Qasthalani dalam kitabnya Mawahibul Laduniyyah, jilid 1, halaman 207, menuliskan sebuah riwayat:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَارَ أُمَّ بَشْرِ بْنِ الْبَرَّاءِ بْنِ مَعْرُوْرٍ فِي بَنِيْ سَلَمَةَ، فَصَنَعَتْ لَهُ طَعَامًا، وَكَانَتْ اَلظُّهْرَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ اَمَرَ فَاسْتَدَارَ إِلَى الْكَعْبَةِ وَاسْتَقْبَلَ الْمِيْزَابَ، فَسُمِّيَ مَسْجِدُ الْقِبْلَتَيْنِ. قَالَ اِبْنُ سَعْدٍ قَالَ اَلْوَاقِدِيْ: هذَا عِنْدَنَا أَثْبَتُ
“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Ummi Basyr bin Al-Barra’ bin Ma’rur, dari suku Bani Salamah, lalu Ummi Basyr membuat hidangan makanan untuk Rasulullah, saat itu waktu dzuhur tiba, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat bersama para sahabat dua rakaat, kemudian Rasulullah di perintahkan mengahadap Ka’bah, maka dengan turunnya ayat itu, Rasulullah kemudian memutar arah ke Ka’bah dan saat itu Rasulullah menghadap mizab (talang air), kemudian masjid ini disebut dengan masjidul qiblatain (masjid yang memiliki dua arah kiblat).
Ibnu Sa’ad berkata, Imam Al-Waqidi mengatakan, riwayat inilah yang lebih kuat.
Menurut Riwayat Ibnu Sa’ad Dalam kitab Thabaqat, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutar arah ke Ka’bah, maka jamaah yang berada di belakang mengikuti Nabi, hingga dikatakan:
“Tempat shalat golongan laki-laki berpindah menempati tempat perempuan begitu pula dengan sebaliknya”. (Mawahibul Laduniyyah, jilid 1, halaman 207).
Bersambung ke Bag. 2: Sejarah Peralihan Kiblat Terjadi di Pertengahan Bulan Sya’ban (2)
M. Asep Jamaludin Az-zahied, Sekretaris LBM NU Jember.